Tuesday, October 03, 2006

Semen Korban Banjir Diduga Akan Ditilep


Sebanyak 295 (dari total 1.995) zak semen bantuan untuk merenovasi rumah korban bencana banjir di Desa Suci, Kecamatan Panti, Jember, ditengarai akan digelapkan.

* Jember - Surya
* Sebanyak 295 (dari total 1.995) zak semen bantuan untuk merenovasi rumah korban bencana banjir di Desa Suci, Kecamatan Panti, Jember, ditengarai akan digelapkan.
* Indikasinya, semen bantuan Mensos itu tak lagi ditempatkan di posko sebagaimana semestinya, melainkan dititipkan di rumah Ny Kiptiyah di Desa Serut, Kecamatan Panti. Selain semen, ada juga beberapa potong kayu berukuran 5/7 sepanjang 4 meter.
* "Saya curiga semen yang ada di rumah Kiptiyah tersebut sengaja disisihkan guna dijadikan barang lain yang ringan alias uang, sehingga mudah membawanya. Kalau mau jujur kenapa bantuan itu tak dititipkan digudang Sat Korlak," jelas Ketua LSM Aliansi Masyarakat Peduli Bencana (AMPB) Suparjo, Senin (2/10).
* Menurut Suparjo, peluang menggelapkan bantuan sangat besar. Dari 130 rumah yang dilaporkan bisa mendapatkan bantuan renovasi, terealisasi sebanyak 122 rumah. Sementara 8 sisa rumah lainya tak berpenghuni. Seperti diketahui, setiap rumah mendapat bantuan 9 jenis bahan, termasuk semen, asbes gelombang, pasir, dan material bangunan lainnya.
* Ny Eni, warga Panti, mengatakan tak salah kalau masyarakat menduga bantuan itu digelapkan. Sebab, pembagian bantuan tidak merata. Terbukti dari 122 rumah yang terealisasi, ia bersama Ny Maskur, Ny Supeno, dan Tedy, yang tercatat sebagai penghuni rumah korban bencana Panti di Desa Suci tak mendapat jatah bantuan itu.
* Camat Panti Suryadi mengatakan semen sengaja dititipkan di rumah Ny Kiptiyah agar lokasinya tak jauh dari korban dan terjaga keamanannya. "Semuanya sudah sesuai aturan," jelasnya.
* Ketua Sat Korlak PB Banjir Panti Kusen Andalas Sip menegaskan, penyimpanan bantuan tersebut seharusnya di gudang Dinsos atau minimal di kantor kecamatan. Sebab, dengan demikian pengawasannya akan lebih mudah dan bisa diketahui transparasinya oleh masyarakat.
* "Saya kurang paham dengan bantuan itu, karena banntuan itu turunnya langsung ke korban bencana Panti, tanpa melalui Sat Korlak kabupaten," tegas Kusen. st17

Tuesday, February 28, 2006

BANJIR BESAR SUNGAI PUTIH

BANJIR BESAR SUNGAI PUTIH :
LAPORAN PANDANGAN MATA DAN KESAN-KESAN SELINTAS


Bekas Pasar Bunot yang rata dengan tanah akibat bencana banjir bandang dan longsor, Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember
Selasa, 21 Februari 2006
Jam 13.41 – 14.04

Sungai Putih adalah sungai yang mengalir di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Sungai Putih berhulu di Pegunungan Argopuro bagian selatan. Sungai ini bertemu dengan sungai-sungai lainnya yang berhulu di Gunung Argopuro di Sungai Bedadung yang melintasi Kota Jember yang kemudian bermuara di Samudra Hindia (Laut Selatan).

Siang hari ini (Selasa, 21 Februari 2006, jam 13.41) sungai Putih banjir besar. Saya mengamati peristiwa ini dengan ngeri dan sekaligus kagum terhadap kekuatan alam.

Suara gemuruh massa air yang berwarna coklat pekat dan lumpur menggelontor apa saja yang ada di alirannya. Suara benturan-benturan batu yang ikut terbawa massa air keras sekali. Suara gemuruh dan benturan-benturan batu ini terdengar hingga sampai sejauh 300 meter dari pinggir sungai. Selain itu tercium bau busuk tajam menyengat dari tanah yang terbongkar (bau ini sangat khas).

Cuaca terang dan berangin dingin yang bertiup kencang. Langit di atas Pegunungan Argopuro tampak menghitam. Tinggi permukaan air (TMA) saat banjir ini satu meter di bawah jembatan darurat di Bunot. Kemarin malam pada saat banjir yang lebih besar dari siang hari ini, TMA tampak setengah meter dari bawah jembatan.

Menonton banjir besar seperti itu timbul perasaan ngeri, takut dan merinding di hati saya. Betapa dashyat kekuatan alam bila sedang berpesta-pora dengan kemarahannya. Manusia jadi tampak kecil sekali dan tidak berarti serta tidak berdaya di hadapan kemurkaan Sang Alam.

Bagaimana dengan reaksi dan tanggapan masyarakat di Bunot terhadap peristiwa banjir ini? Masyarakat sekitar sungai tampak bingung dan ketakutan mendengar suara germuruh banjir ini. Trauma paska bencana masih sangat membekas di hati para korban bencana.

Ada orang yang sudah mengungsi ke tempat yang dianggap aman. Ada orang yang sama sekali tidak berani untuk mendekati sungai, tapi masih tetap tinggal di rumahnya masing-masing; bila ada sedikit saja gelagat yang tidak baik dari sungai itu, maka mereka akan berbondong-bondong berangkat mengungsi ke tempat aman. Ada orang yang melihat banjir ini dari pinggir sungai di bekas Pasar Bunot (dimana saya duduk sambil mencatat peristiwa ini).

Orang datang dan pergi di dekat jembatan darurat sebelah bawah Pasar Bunot untuk melihat peristiwa banjir besar ini . Yang tampak dari mereka adalah keterburu-buruan dan kecemasan: Akankah banjir ini akan menjadi banjir bandang seperti bencana kemarin dulu? Akankah bencana akan terulang? Setelah melihat sebentar kondisi sungai Putih yang menggelegak dan bergemuruh dengan massa air itu, mereka segera balik ke rumah masing-masing untuk memberitahukan kondisi banjir kepada keluarga dan para tetangganya. Sebagian besar orang yang datang dan pergi melihat peristiwa banjir di Pasar Bunot ini menggunakan sepeda montor, sehingga pergerakan mereka dapat dengan cepat dilakukan. Di samping itu ada sedikit orang yang tidak terusik dengan banjir dan tetap meneruskan aktivitasnya, seperti pedagang bakso, pedagang es, para penggali sisa pondasi untuk mencari besi-besinya, dan warung di depan pasar.

Walau dari luar masyarakat sekitar sungai Putih tampak biasa-biasa saja, tapi dari sorot mata dan perilakunya terbaca dengan jelas bahwa mereka mengalami rasa ngeri, takut, dan cemas kalau-kalau banjir ini akan dengan cepat berubah menjadi banjir bandang seperti bencana sebelumnya. Ada perasaan ketakutan dan ketidakberdayaan bila menghadapi kemurkaan alam seperti sekarang ini.

Di balik rasa ingin tahu dan ketergesa-gesaan orang-orang yang datang dan pergi di pinggir sungai Putih tersebut, tersembunyi rasa takut, cemas dan rasa tidak aman yang mendera hati dan pikiran mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang sama terulang-ulang di hati dan pikiran mereka: Akankah banjir ini akan menjadi banjir bandang seperti bencana kemarin dulu? Akankah bencana akan terulang? Apakah keluarga dan rumahku aman bila terjadi bencana susulan?

Jam 14.04 hujan mulai turun di Pasar Bunot dan sekitarnya. Para “penonton” banjir besar di pinggir sungai Putih ini bubar dengan sendirinya. Ketika hujan menjadi semakin deras, maka saya pun segera balik ke rumah. Sampai jam 14.35 terjadi hujan deras di Desa Kemiri, tapi suara gemuruh banjir di sungai Putih sudah tidak terdengar lagi.


Desa Kemiri, 21 Februari 2006
Pelapor pandangan mata,

Djuni Pristiyanto

Pengelolaan kawasan bantaran sungai untuk mengurangi risiko

Pengelolaan kawasan bantaran sungai untuk
mengurangi risiko bencana di Jember


ALIANSI MASYARAKAT PEDULI BENCANA (AMPB) JEMBER
Jl. Mujaer No. 1 Sukorambi, Jember
Telp.: 0331 - 427213, Fax: 0331 – 486589
Email : senoaji@cbn.net.id, Blog: http://bencana-jember.blogspot.com/


No. : 01/AMPB/II/06
Lamp. : -
Hal : Pengelolaan kawasan bantaran sungai
untuk mengurangi risiko bencana di Jember


Jember, 22 Februari 2006


Kepada :
Yth. Ketua Satlak PBP Kab. Jember
di -
Jember



Dengan hormat,

Bencana banjir bandang dan longsor telah terjadi di Jember pada tanggal 30 Desember 2005 dan 1 Januari 2006. Longsoran tanah bercampur air hujan menerjang dan membawa balok-balok kayu dan tunggul kayu dari perkebunan sehingga menjadi banjir bandang, air lumpur bercampur bongkahan batu besar dan balok kayu di sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Argopuro yaitu Kali Putih, sungai Krenceng, sungai Dinoyo, sungai Pakis, sungai Jompo dan sungai Bondoyudo. Sungai-sungai itu bertemu menjadi sungai Bedadung yang melintasi kota Jember. Banjir bandang menerjang desa-desa di sepanjang daerah aliran sungai tersebut, sehingga berjatuhan korban manusia dan harta benda.

Oleh karena kerusakan hutan dan lahan di Pegunungan Argopuro serta tingginya tingkat curah hujan pada musim penghujan ini, maka di sepanjang daerah aliran sungai tersebut di atas masih tetap menjadi ancaman bencana bagi masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai itu. Potensi bencana susulan tetap menjadi risiko utama bila tidak ada suatu mekanisme peringatan dini terhadap datangnya bencana dan upaya-upaya penanggulangan bencana yang komprehensif dan melibatkan banyak elemen di masyarakat luas.

Masyarakat di Dusun Gaplek, Desa Suci, Kecamatan Panti menganggap bahwa bantaran sungai Putih masih berisiko besar bagi keselamatan jiwa dan harta masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya usaha dari pemerintah (Satlak, Pemkab) untuk memperbaiki bantaran sungai Putih di Dusun Gaplek agar risiko bencana susulan dapat dikurangi sekecil mungkin. Maka dari itu, masyarakat Dusun Gaplek bersama-sama beberapa orang yang peduli akan hal ini berupaya untuk menghubungi Komandan Zipur Malang guna memanfaatkan “bego” (hexavator) yang sedang menganggur. “Bego” itu semula digunakan untuk memperbaiki dan mengarahkan aliran sungai Putih di bekas pasar Bunot yang rata dengan tanah akibat bencana.

Setelah diizinkan oleh Komandan Zipur Malang, “bego” tersebut dapat digunakan untuk mengeruk, memperbaiki dan mengarahkan aliran sungai Putih dengan gratis. Masyarakat Gaplek hanya membiayai bahan bakar “bego”, memperhatikan kesejahteraan sopir “bego” dan menjaga keamanan peralatan berat itu.

Biaya operasional “bego” dibiayai oleh para donatur yang peduli dengan kondisi masyarakat yang terancam bahaya bencana banjir susulan, antara lain donatur dari Gereja Katholik St. Yosef. Dalam sehari “bego” ini menghabiskan 200 liter solar, bila harga solar satu liternya adalah Rp 4.300,-; maka biaya total operasi “bego” di Gaplek ini selama 7 (tujuh) hari menghabiskan dana lebih dari Rp 6.000.000,-

Pada tanggal 20 Februari 2006 bego tersebut ditarik oleh DanZipur Malang, karena pihak Satlak/Pemkab “cuek” dan tidak memberi respon terhadap upaya-upaya swadaya masyarakat ini. Berdasar informasi dari masyarakat Gaplek yang setiap hari bertemu dengan DanZipur Malang, penarikan “bego” ini disebabkan DanZipur kecewa berat dengan sikap Satlak PBP Kab. Jember yang tidak tanggap terhadap keswadayaan masyarakat dan rendahnya kepekaan mereka terhadap adanya risiko besar ancaman bencana susulan.

Pada tanggal 20 Februari 2006 sore hari dan malam terjadi hujan deras di pegunungan Argopuro bagian selatan. Tinggi permukaan air (TMA) sungai Putih dengan cepat naik, sebagai akibatnya adalah masyarakat di pinggiran sungai Putih sudah mulai mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Upaya-upaya swadaya masyarakat untuk memperbaiki aliran dan membuat plengsengan di sungai Putih di daerah Dusun Gaplek ternyata membawa manfaat besar. Hal ini dibuktikan ketika TMA sungai Putih naik dengan cepat, air tidak sampai melewati plengsengan di bagian barat sungai dan rumah-rumah penduduk yang ada di sebelah barat sungai tetap aman.

Hujan lebat yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2006 siang hari di pegunungan Argopuro menjadi sedikit berbeda bagi daerah Gaplek dan Kepiring di Desa Suci. TMA air hampir melewati plengsengan yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat Gaplek. Bila TMA naik beberapa sentimeter saja, maka air akan masuk ke halaman dan rumah-rumah penduduk di Gaplek Suci bagian barat. Selain itu di Dusun Kepiring massa air semakin tinggi dan meluap yang menggenangi daerah Kepiring. Masyarakat di daerah itu tentu saja menjadi sangat ketakutan dan mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Bahkan masyarakat Dusun Kpeirng bersedia dan siap untuk mengumpulkan dana sendiri guna membiayai “bego” untuk memperbaiki aliran sungai dan membuat tanggul/plengsengan.

Walau bagaimanapun, selama bantaran sungai tidak ditangani dengan baik maka risiko terjadinya bencana susulan akan tetap besar dan mengacam perikehidupan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, Aliansi Masyarakat Peduli Bencana (AMPB) Jember mendesak Ketua Satlak PBP Kab. Jember untuk segera :
  1. Terus melakukan upaya-upaya untuk mengeruk, memperbaiki dan mengarahkan aliran sungai guna mengurangi timbulnya bahaya bencana yang datang bagi masyarakat yang tinggal di daerah sekitar sungai tersebut. Biaya dan tanggung jawab untuk kerja-kerja ini merupakan tugas penuh dari Satlak PBP Kab. Jember.
  2. Memperjelas konsep dan sikap serta tindakan dalam hal pengelolaan kawasan bantaran sungai dari hulu sungai di Pegunungan Argopuro hingga hilir di daerah pantai Samudra Hindia, sehingga risiko bencana bagi masyarakat sekitar bantaran sungai dapat dikurangi seminimal mungkin.
  3. Memperjelas konsep dan sikap serta tindakan dalam hal mekanisme peringatan bahaya dini (early warning system) terhadap datangnya bahaya bencana.

Demikianlah disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.


Jember, 22 Februari 2006

Hormat kami,
Aliansi Masyarakat Peduli Bencana (AMPB) Jember


(Nur Hasan)
Koordinator AMPB Jember


Untuk komunikasi lebih lanjut menghubungi :
  • Syaifur Rohman (0812 - 4987947)
  • Andi Sungkono (0815 - 5928159, 0331 - 7764844)
  • B. Catur Nusantara (0813 - 36607872)
  • Nur Hasan (0813 - 36716752)

Tembusan :
  1. Bupati Jember
  2. Ketua Pansus Bencana DPRD Jember
  3. Komandan Zipur Malang
  4. Kepala Dinas Pekerjaan Umum
  5. Kepala Dinas Pengairan
  6. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
  7. Kimpraswil Jember
  8. Camat Panti
  9. Media massa cetak
  10. Media massa elektronik


Aliansi Masyarakat Peduli Bencana (AMPB) Jember

BAL, HAMIM, IMPA Akasia, Kappala Jember, KIH Jember, PAHAD, Pelangi Nusantara, Veteran Pecinta Alam Jember, WALHI Jatim, YPK