Thursday, January 12, 2006

[Jember] Update info 11/01/06: PANGGUNG HAJATAN BENCANA

PANGGUNG HAJATAN BENCANA NASIONAL


Kawan-kawan Pemerhati dan Peduli Bencana Jember,

Banyak pertanyaan mengenai situasi dan kondisi di lokasi bencana setelah bencana banjir bandang dan longsor di Jember? Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?

Terus terang sejak tiba di Jember hari Rabu sore (3/1/06), saya belum pernah sekali pun melihat lokasi bencana. Saya lebih sibuk mengurusi sekretariat posko dan relawan HAMIM. Baru tadi sore-malam ini (11/1/06) saya berkunjung ke lokasi bencana di Desa Kemiri, Kec. Panti, Kab. Jember. Apa yg saya lihat dan rasakan sangat impresif dan membuat syok diri saya. Padahal dalam laporan-laporan saya terdahulu sudah saya gambarkan tentang "hiruk-pikuknya" lokasi bencana. Akan tetapi, mengalami sendiri dan mendengarkan laporan orang lain memang jauh berbeda.


1. Hajatan Bencana

Lokasi bencana banjir bandang dan longsor di Desa Kemiri, Kec. Panti, Kab. Jember ini dan segala hal yang berkaitan dengan bencana tersebut telah menjadi PANGGUNG HAJATAN BENCANA NASIONAL. Betul-betul sebuah panggung dengan segala atributnya lengkap. Tidak terasa aroma kepiluan dan tragedi sebuah bencana di sana. Yang ada adalah keriaan sebuah pesta. Dan seperti layaknya sebuah pesta yang telah usai, maka yang tinggal adalah panggung yang telah ditinggalkan para penonton, "panitia" yang sedang sibuk "berkemas-kemas", barang-barang dan "sampah" yang berserakan, ke-santai-an para "panitia dalam membereskan barang-barang dan urusan untuk segera pulang ke rumahnya masing-masing.

Yang menjadi aktor utama dari PANGGUNG HAJATAN BENCANA NASIONAL ini adalah Bapak Presiden SBY. Para aktor pembantu banyak sekali mulai dari menteri, gubernur, bupati, pangdam, ketua MPR, ketua DPR, dll. Tidak ketinggalan para bodyguard yang keren-keren dan galak, seperti paspampres, tentara, dan polisi. Lalu apa peran para penduduk yang terkena bencana (pengungsi), tentu saja mereka sebagai aktor pelengkap penderita. Dan apa panggungnya? Sebagai panggungnya adalah lanskap bentang alam yang porak poranda, dan rumah-pasar-masjid-sekolah yang rata dengan tanah. Menurut Satkorlak Kab. Jember panggung untuk Hajatan Bencana Nasional itu telah "memakan" biaya sebesar Rp 60 Milyar (baca: Radar Jember, Rabu, 11 Januari 2006 dengan judul "Kerugian Mencapai Rp 60 Miliar, Bantuan Banjir harus Dikoordinasi Secara Tepat").

Sebuah hajatan tidak akan ramai bila tidak ada penonton, penggembira dan dokumentatornya. Siapa penontonnya? Ya kita semua ini menjadi penonton hajatan tersebut; bahkan setelah sholat Idul Adha, berduyun-duyun para "wisatawan bencana" memadati Desa Kemiri dan sekitarnya. Kemacetan lalu-lintas tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi juga di sebuah jalan kecil menuju kampung kecil di kaki gunung Argopuro. Siapa para penggembira hajatan ini? Para penggembira datang dengan segala atributnya yang gagah dan kecap nomor satunya, bahwa partainya adalah yang paling tanggap dalam membantu korban bencana alias para penderita dalam hajatan ini. Terus, siapa pula dokumentator hajatan? Tidak usah diundang mereka datang berbondong-bondong dengan sendirinya, seperti MetroTV, TransTV, SCTV, RCTI dan media massa lainnya. Itulah PANGGUNG HAJATAN BENCANA NASIONAL yang terjadi di sebuah kampung kecil di kaki Gunung Argopuro.


2. Korban Bencana

PANGGUNG HAJATAN BENCANA NASIONAL terasa sekali sejak dari kota Jember hingga Desa Kemiri. Akan tetapi, kontras sekali ketika saya memasuki daerah barak pengungsian di sebelah timur lapangan Balai Desa Kemiri. Barak pengungsian ini berupa tenda peleton ukuran tanggung (ada 10 buah). Tiap tenda peleton diisi lebih kurang 25 KK (lebih kurang 77 jiwa), ada 2 tenda yang diisi lebih dari 100 jiwa. Secara umum "kompleks" tenda pengungsian di situ tampak bersih, teratur dan teroganisir dengan baik. Sebagai alas untuk tenda adalah papan yang di atasnya diberi plastik dan kemudian tikar.

Di barak pengungsian ini terasa sekali udara kesedihan dan tragedi. Wajah-wajah duka dan kepasrahan tertampang di depan saya. Ada satu pengungsi yg seluruh keluarganya habis diterjang banjir bandang dan tinggal dia sendiri yang hidup. Ada pula yang rumah dan harta bendanya hancur rata dengan tanah. Ada semacam keheningan yang pekat dengan kedukaan dan kesedihan di dalam ruang tenda-tenda para pengungsi terebut.

Waktu kawan saya bertanya tentang apa sebab banjir bandang ini? Pak Tua pengungsi tertunduk kuyu, "Hujan!", jawabnya. "Lho kok hujan?", tanya kawan saya lagi. "Kalau menjawab karena penebangan liar atau ulah perkebunan, nanti malah dimarahi, maka yang aman ya HUJAN itu yang salah", jawab Pak Tua itu. "Kalo begitu, yang salah Sang Pangeran (Tuhan) dong?" sahut kawan saya lagi. "Ya tidak begitu tho mas", kata Pak Tua lemah.

Ketika bertamu ke tenda Pak Tua itu saya dan kawan-kawan sempat disuguh air dalam kemasan dan roti. "Cuma ini rejekinya, seadanya ya mas", kata istri Pak Tua itu. Sebuah keramahtamahan yang menggiriskan hati.


3. Bantuan untuk Pengungsi

Bantuan untuk korban bencana sudah bertumpuk-tumpuk di posko-posko. Di Balai Desa Kemiri ada tumpukan tinggi air kemasan, mi instan, pakaian pantas pakai, dll. Di rumah-rumah yang dijadikan posko bantuan juga bertumpuk-tumpuk. Ada ketentuan bahwa semua bantuan untuk pengungsi mesti melewati satu pintu, yaitu lewat Satkorlak Jember. Apakah ketentuan itu dapat memperlancar kerja penyaluran bantuan kepada korban bencana yang benar-benar membutuhkannya?

Kenyataannya adalah bantuan-bantuan itu menumpuk di posko-poskonya Satkorlak dan Satlak beserta jajarannya. Banyak pengungsi yang tidak mendapatkan bantuan yang sebenarnya mereka butuhkan. Hal ini sudah banyak pihak yang mengeluhkannya. Mengapa hal tersebut terjadi? Jawabnya mungkin karena tiadanya manajemen pengelolaan dan distribusi bantuan yang baik.

Sebenarnya, apa sih yang benar-benar dibutuhkan oleh para pengungsi sekarang ini? Apakah bahan makanan yang cepat saji? Apakah air minum dan sanitasi? Apakah barak-barak pengungsian yang sesuai dengan prinsip-prinsip SPHERE? Apakah konseling psikologis untuk mengatasi trauma pasca bencana? Apakah ...?


4. Manajemen Penanggulangan Bencana

Saat ini baru dalam tahap emergency response dan relief. Jalan masih panjang dan butuh waktu lama agar para pengungsi dapat pulang ke rumah dan kembali pada kehidupan normal sehari-hari. Padahal yang terjadi di lapangan adalah begitu amburadulnya manajemen penanggulangan bencana di Jember. Tidak jelas siapa bertanggung jawab kepada siapa, dan siapa mengerjakan apa. Kalau toh ada struktur penanggulangan bencana ya cuma di atas kertas; dalam kenyataannya saling silang tunjuk dan lempar tanggung jawab atau tungu-tungguan karena takut untuk ambil resiko suatu tindakan. Tidak ada kepemimpinan dalam penanggulangan bencana. Akibatnya adalah semua berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan target masing-masing dan interest masing-masing pula.

Bagaimana rencana pemerintah daerah dan instansi-instansi terkait lainnya dalam tahap-tahap, seperti rehabilitasi, rekontruksi dan relokasi? Apakah ada blueprint dan rencana tindak yang tidak merugikan para korban bencana serta lingkungan? Bagaimana early warning terhadap adanya bencana dari kaki Gunung Argopuro?

Tampaknya pertanyaan-pertanyaan di atas masih perlu didesakkan dengan gencar oleh berbagai elemen di Jember. Semakin banyak pihak terlibat dalam hal ini, maka akan semakin baik hasilnya.


5. Apa Selanjutnya?

Kerja-kerja untuk penanggulangan dan penanganan bencana banjir bandang dan longsor di Jember jelas sekali memerlukan kolaboratif banyak elemen. Jalan masih panjang yang mesti dilalui.


6. Point-Point Catatan dari Berita Media

(1) Bantahan pejabat pusat dan provinsi bahwa banjir bandang di Jember bukan disebabkan kerusakan hutan, ternyata tak menggoyahkan keyakinan masyarakat. Warga yang tinggal di kawasan bencana banjir bandang tetap berpendapat, faktor utama bencana adalah kerusakan hutan di lereng pegunungan Argopuro.

(2) Warga juga menyoroti terjadinya alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Sebagian besar hutan telah beralih fungsi ditanami kopi oleh sebagian anggota masyarakat dan perusahaan daerah perkebunan.

(3) Perlunya evaluasi terhadap BUMN yang berwenang mengurusi hutan. Mereka harus bertanggung jawab, jika dalam penelusuran, ditemukan adanya illegal logging. Pasalnya, bencana berasal dari wilayah yang dikuasai BUMN bersangkutan.

(4) Kendati sejak 8 Januari lalu, kawasan bencana di Desa Kemiri Kecamatan Panti sudah dinyatakan ditutup untuk umum, namun masih banyak masyarakat yang berduyun-duyun mendatangi lokasi. Tak ayal, polisi pun kewalahan dan penjagaan yang dibuat berlapispun akhirnya jebol. Ribuan warga dengan leluasa menuju lokasi banjir baik dengan jalan kaki maupun naik kendaraan roda dua. Kemacetan pun terjadi di sepanjang jalur menuju lokasi bencana.

(5) Pemerintah Kabupaten Jember mempersiapkan kawasan rumah darurat bagi pengungsi banjir bandang di Jember. Pemukiman itu rencananya akan ditempatkan di tiga lokasi. Antara lain: di lapangan Suci, lapangan Serut, dan lapangan Tenggiling. Selain APBD, pemkab juga akan mengajukan anggaran rumah darurat ke Pemerintah Provinsi dan Pusat.

(6) Dalam usulan perbaikan sarana prasarana, Pemerintah Kabupaten mengajukan rencana pembuatan tenda penampungan, dengan alas tenda, dan lantai kayu. Dalam usulan itu, direncanakan membuat 760 tenda penampungan dengan alokasi anggaran Rp. 3,040 Miliar. Namun, belakangan rencana tenda penampungan itu diubah dengan tenda darurat, dengan pertimbangan rumah tinggal yang lebih layak.

(7) Bencana alam yang terjadi di Jember mengakibatkan kerugian material cukup besar. Berdasarkan catatan Satkorlak Kabupaten Jember, kerugian akibat tanah longsor dan banjir lumpur ini mencapai Rp 60 miliar lebih.

(8) 1500 Relawan dan TNI Dikerahkan, Tangani Pasca Bencana, Jalur Ditutup Total. Penanganan pasca bencana mulai dilakukan tim satuan pelaksana penanggulangan bencana alam (Satlak PBA) Pemkab Jember.

(9) Dari pendataan diketahui ada 20 lebih kelompok tim relawan yang membuat posko dekat lapangan Desa Kemiri sampai di Desa Serut, Kecamatan Panti. Diantaranya: Politeknik, Posko Bersama Radar Jember-Taruna Bhumi-APTRI-Indomie-TNI, Tim Raung 4x4, Persada Agung, Kehutanan KSDA, ACT, PLN, Bulan Sabit Merah, PKS, Kosgoro, Merah Putih, Kupi, Satgas PKB, Muhammadiyah-Aisiyah, Solidaritas Bencana Alam, Posko 2 Tenggiling Atas Artha Graha, Banser-Anshor, SAR OPA, Hidayatullah, PAN, Perhutani, Ababil PPP, PTP, Garda Bangsa, HKTI, Merah Putih.

(10) Rusaknya sarana sekolah akibat banjir bandang dan tanah longsor di Jember menjadi perhatian Dinas P dan K Jatim yang menyiapkan dana Rp 3,59 miliar untuk rehabilitasi. Dana Rp 3,59 miliar itu diperuntukkan bagi 20 sekolah yang tersebar di beberapa wilayah di Jember.


Untuk sementara sekian dulu laporan singkat ini atas upaya-upaya penanggulangan bencana banjir bandang dan longsor di Jember. Bila ada kesempatan silahkan surfing di Blog Peduli Bencana Jember dg alamat di : <
<http://bencana-jember.blogspot.com/>>

Kliping berita mengenai bencana banjir bandang dan longsor Jember dapat diakses di Milis Berita Lingkungan <
<http://groups.yahoo.com/group/berita-lingkungan>> Bila tertarik silahkan mendaftar gratis dengan mengirim email kosong ke : berita-lingkungan-subscribe@yahoogroups.com


Salam,
Djuni "Lethek" Pristiyanto

-----------------------------------------
My Blog:
# Jalan Setapak adalah Jalan Hidupku
# Berita-Berita Lingkungan Indonesia
# Peduli Bencana Jember
----------------------------------------

0 Comments:

Post a Comment

<< Home